Aku pernah baca sebuah kalimat:
Aku merasa paling dekat dengan keabadian saat memikirkan dirimu.
Apa yang akan terbersit dipikiranmu bila mendengar kata-kata ini?
Banyak yang kurenungkan. Dari sebuah kalimat pendek ini spontan aku memikirkan tentang cinta. Klise memang. Walaupun terlihat konyol dan mudah emosi, I've always remained an impossible romantic. Dan itu yang takkan berubah. Tapi kadang, cinta dalam arti luas. Yang aku pikirkan bukan hanya perasaan cinta terhadap satu individu, tapi juga perasaan sayangku kepada orang-orang terdekat yang selalu kurindukan hadirnya. Kemudian agamaku. Tuhanku. Hal ini membuatku bertanya kenapa orang-orang yang kusayang hadir lebih dulu di benakku, baru kemudian Tuhan? Dan kenapa perasaan itu tak bisa sama besarnya untuk agamaku sendiri?
Akhir-akhir ini ada banyak hal yang membuatku ingin mendekat kepada-Nya. Dua kali hilangnya kartu atm, hilangnya dompet adik (yang Alhamdullilah dikembalikan), Bulan ramadhan yang mendekat, tambahnya umurku bulan depan, dan terutama hari-hari yang tak ubahnya kulalui dengan perasaan hampa. Aku memang manusia picik. Diterpa cobaan sedikit saja baru usaha puasa sunah dan sholat tanpa bolong-bolong secara konsisten. Tetapi terlebih-lebih karena ada satu hal yang sedang mengusik pikiranku.
Hari ini pulang dari kelas aku berjalan kaki dari nana sampai rumah di petchburi. Itu yang aku paling suka disini- tersedianya tempat berjalan kaki karena aku suka jalan kaki sendirian. Dan aku suka jalan kaki untuk melihat pemandangan menarik, atau tempat-tempat unik, dan juga untuk berpikir. Tiap hentakan kaki rasanya kurang afdol jika aku tidak mulai mempertanyaan tentang arti keberadaanku selama tinggal di Bangkok ini. Emang dasar sakit jiwa...Lalu entah dari mana, kalimat itu menghantam pikiranku. Hatiku terasa teriris sesuatu yang tajam. Dan bagaimanapun aku mencoba mengabaikannya hal yang pertama muncul dibenak adalah perasaanku saat ini kepada salah seorang sahabatku.
Baru kali ini selama lebih dari 7 tahun persahabatan kita, aku bertengkar dengannya hingga memakinya. Timbul rasa benci dari egoku yang kuakui sebesar gunung timbuktu, mungkin. Dia, salah seorang yang seharusnya paling memahamiku - telah mencemooh hal yang paling sensitif tentang situasiku saat ini. Rasanya, kok ya sakit hati ya. Kenapa orang yang paling kupercaya bisa setega itu. Rasanya secara impulsif ingin kuhilangkan dia dari hidupku, walaupun aku tahu betul itu sama sekali tidak mungkin. Hubungan kita memang sedari dulu rumit, tapi dalam. Aku sayang dia seperti keluarga. Aku sama sekali tak ingin kehilangannya. Hubungan yang disertai perasaan yang dulu kusandangkan dengan arti keabadian tadi. Tapi sekarang? Betapa anehnya perasaan manusia yang bisa bertahan bertahun-tahun tapi berubah setika dalam hitungan detik.
Aku ga bisa memaafkannya- sampai dia minta maaf. Bak ratu yang menuntut rakyatnya tunduk. Apakah aku masih bisa di bilang manusiawi ya? Hatiku keras. Kenapa rasa tinggi hati ini ga mau hilang? Kenapa aku ga pernah bisa belajar berlapang dada?Forgive my arrogance. God, forgive me. Make me learn to change..
No comments:
Post a Comment